Beranda | Artikel
Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 4)
Minggu, 3 Oktober 2021

Baca pembahasan sebelumnya Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 3)

Bismillah.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,

وإذ أذنب استغفر

(Dan semoga Allah menjadikan kamu termasuk) orang yang beristigfar apabila terjerumus dalam perbuatan dosa.

Penjelasan :

Pentingnya melakukan istighfar

Dalam doa yang agung ini, beliau memohon kepada Allah agar memberi taufik kepada orang yang membaca risalahnya, supaya menjadi orang yang kembali kepada Allah, bertaubat kepada-Nya apabila terjatuh dalam maksiat dan dosa. Sebagaimana telah diketahui bahwa manusia seringkali terjerat oleh kemauan hawa nafsunya, sehingga melakukan apa yang dilarang oleh Allah atau bahkan meninggalkan kewajiban yang diperintahkan dalam agama.

Untuk itulah seorang muslim diajarkan untuk selalu beristigfar. Dalam banyak kesempatan, kita diperintahkan untuk memohon ampunan. Di antaranya, ketika selesai mengerjakan salat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita untuk membaca istighfar 3 kali. Hal itu bukan berarti salat adalah perbuatan dosa. Tetapi, memberikan pelajaran kepada kita bahwa sebagus apapun amal yang dilakukan oleh hamba, hak-hak Allah itu terlalu agung dan Maha sempurna sehingga tidak bisa dihargai dengan ketaatan dan amal manusia yang penuh dengan kekurangan.

Inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah مطالعة عيب النفس والعمل (muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal). Mencermati dan menyadari begitu banyak aib pada diri dan amal-amal yang kita kerjakan. Karena ibadah kepada Allah itu berporos pada dua pilar, (1) cinta yang sepenuhnya dan (2) perendahan diri yang seutuhnya kepada Allah. Sementara perendahan diri tidak bisa muncul, kecuali dengan menelaah aib pada diri dan amalan hamba. Demikian kandungan makna yang diterangkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Wabil Ash-Shayyib.

Penghambaan kepada Allah berporos pada dua kaidah dasar

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, bahwa penghambaan kepada Allah berporos pada dua kaidah dasar, yaitu kecintaan yang sepenuhnya dan perendahan diri yang sempurna. Munculnya kedua pokok (kaidah) ini berangkat dari dua sikap prinsip yaitu    مشاهدة المنة (musyahadatul minnah), yaitu menyaksikan curahan nikmat-nikmat Allah dan مطالعة عيب النفس والعمل (muthala’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal), yaitu selalu meneliti aib pada diri dan amal perbuatan.

Dengan senantiasa menyaksikan dan menyadari setiap curahan nikmat yang Allah berikan kepada hamba, akan tumbuhlah kecintaan. Dan dengan selalu meneliti aib pada diri dan amalan, akan menumbuhkan perendahan diri yang sempurna kepada Rabbnya. (lihat Al-Wabil Ash-Shayyib, hlm. 8 tahqiq Abdul Qadir dan Ibrahim Al-Arna’uth)

Dengan selalu menyaksikan dan menyadari betapa banyak curahan nikmat yang Allah berikan, akan menumbuhkan kecintaan, pujian, dan syukur kepada Allah yang telah melimpahkan begitu banyak kebaikan. Dan dengan memperhatikan aib pada diri dan amal perbuatan, akan melahirkan sikap perendahan diri, merasa butuh, fakir, dan bertaubat di sepanjang waktu. Sehingga orang itu tidak memandang dirinya, kecuali berada dalam kondisi bangkrut. Pintu terdekat yang akan mengantarkan hamba menuju Allah adalah pintu gerbang perasaan bangkrut. Dia tidak melihat dirinya memiliki kedudukan, posisi, dan peran yang layak diandalkan/dibanggakan. Sehingga, dia pun akan mengabdi kepada Allah melalui pintu gerbang perasaan fakir yang seutuhnya dan kondisi jiwa yang merasa dilanda kebangkrutan. (lihat Al-Wabil Ash-Shayyib, hlm. 7)

Apabila kita teliti kembali amal dan ibadah yang kita kerjakan, ada banyak sekali kekurangan dan cacatnya. Dari sanalah, kita mengetahui letak pentingnya muhasabah. Sebagaimana yang dinasihatkan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu, “Hisablah diri-diri kalian sebelum kalian dihisab! Dan timbanglah amal-amal kalian sebelum kalian ditimbang (di akhirat)!”

Istighfar adalah memohon ampunan kepada Allah atas dosa yang dilakukan. Dosa itu sendiri meliputi dua kategori. Terjadi karena menerjang larangan atau karena tidak menunaikan kewajiban. Bisa jadi seseorang tidak melakukan perkara yang diharamkan pada suatu waktu, tetapi pada saat itu dia tidak menunaikan kewajiban dan tugasnya dengan baik. Dan inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah taqshir/keteledoran dan cacat amalan.

Baca Juga: Sepuluh Kaidah Pemurnian Tauhid

Sikap seorang mukmin terhadap amalannya

Seorang mukmin, ketika melihat amalannya, maka dia berharap kepada Allah supaya amalnya diterima. Meskipun demikian, dia selalu ingat dan waspada akan dosa dan kekurangannya. Jangan sampai amalnya hancur dan sirna gara-gara dosa. ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu sebagaimana dinukil oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di bawah gunung. Dia takut gunung itu runtuh menimpa dirinya.”

Karena itulah, Hasan Al-Bashri rahimahullah menjelaskan bahwa seorang mukmin itu memadukan dalam dirinya antara perbuatan ihsan/kebaikan dan ketaatan dengan perasaan syafaqah/takut dan khawatir. Sebaliknya, orang kafir dan fajir memadukan dalam dirinya antara perbuatan jelek/dosa dengan merasa aman/baik-baik saja. Lihatlah sosok para sahabat -manusia terbaik setelah para nabi- yang dituturkan oleh Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah,

“Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan mereka semua khawatir apabila kemunafikan bersemayam di dalam diri mereka. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengaku bahwa imannya seperti imannya Jibril dan Mika’il.”

Dari sini pula, kita mengetahui bahwa istighfar yang dimaksud bukan hanya ucapan lisan tanpa keyakinan dan kesadaran di dalam hati. Sebab, zikir yang paling utama adalah yang menggabungkan antara ucapan lisan dengan penghayatan di dalam hati terhadap apa yang dibaca. Oleh sebab itu, istighfar yang tidak disertai dengan perendahan diri dan ketundukan kepada Allah, bukanlah istighfar yang hakiki. Karena ketaatan yang Allah terima adalah ibadah yang berakar dari dalam hati. Allah berfirman,

یَوۡمَ لَا یَنفَعُ مَالࣱ وَلَا بَنُونَ

إِلَّا مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبࣲ سَلِیمࣲ

“Pada hari itu (kiamat), tiada berguna harta dan keturunan laki-laki kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. Asy-Syu’ara’: 88-89)

Sehingga sebagian salaf berkata, “Betapa banyak orang yang lisannya beristigfar tetapi dimurkai. Sedangkan, ada orang-orang yang lisannya diam tetapi senantiasa dirahmati.”

Setiap muslim membutuhkan waktu-waktu khusus untuk menyendiri dengan Rabbnya. Mengingat dosa dan kesalahannya untuk bertaubat dan menangisi kedurhakaan yang selama ini dia lakukan. Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam manusia terbaik di muka bumi saja beristigfar kepada Allah dalam sehari sampai 70 kali atau seratus kali bahkan lebih. Lalu, bagaimana lagi dengan kita?!

Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR. Bukhari no. 6307)

Imam Nasa’i meriwayatkan dengan sanad jayyid dari Ibnu Umar. Beliau berkata, “Bahwa dirinya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca,

أستغفر الله الذي لا إله إلا هو الحي القيوم وأتوب إليه

‘astaghfirullahalladzi laa ilaha illa huwal hayyul qayyum wa atuubu ilaih’ dalam sebuah majelis sebelum bangkit sebanyak 100 kali.” (lihat Fath Al-Bari oleh Ibnu Hajar, 11: 115)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu mengatakan, “Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosa-dosanya seolah-olah dia sedang duduk di bawah sebuah gunung. Dia takut apabila gunung itu jatuh/runtuh menimpa dirinya.” (lihat Fath Al-Bari, 11: 118)

Demikianlah sifat seorang muslim. Bahwa dia senantiasa merasa takut dan merasa diawasi oleh Allah. Dia menganggap kecil amal salihnya dan dia mengkhawatirkan dampak perbuatan buruknya meskipun itu kecil. (lihat Fath Al-Bari, 11: 119)

‘Aisyah radhiyallahu ’anha mengatakan, “Adalah kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah keluar dari buang air (kamar kecil), beliau mengucapkan

غفراك

‘ghufroonak’

(Artinya ‘Kami mohon ampunan-Mu, ya Allah).” (HR. Abu Dawud dan lain-lain)

Makna doa ini adalah “Aku memohon ampunan-Mu kepada-Mu, ya Allah.” Yaitu, Engkau tutupi dosa-dosaku dan Engkau tidak menghukumku karena dosa-dosa itu. (lihat keterangan Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah dalam Tashilul Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil Maram, 1: 242)

Hikmah dari bacaan ini adalah apabila seorang telah menunaikan hajatnya (dengan membuang kotoran secara fisik), hendaklah dia mengingat kotoran secara maknawi yang mengganggu kehidupannya, yaitu dosa-dosa. Karena, sesungguhnya menanggung dosa lebih berat dan lebih membahayakan daripada menanggung kotoran yang berupa ‘air besar’ atau ‘air kecil’. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya kita mengingat dosa-dosa kita dan memohon ampunan Allah atasnya. (lihat keterangan Syekh Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam Fathu Dzil Jalal wal Ikram, hlm. 306)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai umat manusia, bertaubatlah kepada Allah. Karena sesungguhnya aku bertaubat dalam sehari kepada-Nya seratus kali.” (HR. Muslim no. 2702)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata setelah menjelaskan kandungan hadis ini, “Adapun kita (apabila dibandingkan dengan Nabi) maka sesungguhnya kita ini jauh lebih membutuhkan istighfar dan taubat.” (lihat Syarh Muslim [8: 293]). Benarlah apa yang dikatakan oleh An-Nawawi rahimahullah. Semoga Allah merahmati dan mengampuni kita dan beliau.

Dan apabila kita cermati keadaan kaum muslimin di zaman ini, maka akan kita dapati bahwa amalan ini (bertaubat 100 kali dalam sehari) termasuk salah satu amalan yang sudah banyak ditinggalkan oleh manusia (sunnah mahjurah), kecuali pada sebagian manusia yang Allah berikan taufik kepada mereka dan betapa sedikitnya mereka itu. Semoga Allah berikan taufik kepada kami dan segenap pembaca untuk mengamalkannya.

An-Nasa’i rahimahullah meriwayatkan dengan sanad jayyid dari Ibnu Umar, beliau berkata, “Bahwa dirinya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca,

أستغفر الله الذي لا إله إلا هو الحي القيوم وأتوب إليه

‘astaghfirullahalladzi laa ilaha illa huwal hayyul qayyum wa atuubu ilaih’ dalam sebuah majelis sebelum bangkit sebanyak 100 kali.” (lihat Fath Al-Bari, 11: 115). Kepada Allah semata kita mohon pertolongan.

Baca Juga:

Semoga catatan yang singkat ini bermanfaat.

Barakallahu fiikum.

Penulis: Ari Wahyudi


Artikel asli: https://muslim.or.id/69223-penjabaran-empat-kaidah-utama-bag-4.html